GURU : TINJAUAN KRITIS TERHADAP PELAKSANAAN SERTIFIKASI GURU
Pembicaraan tentang profesionalisme guru saat ini menjadi sesuatu yang mengemuka ke ruang publik seiring dengan tuntutan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Oleh banyak kalangan, mutu pendidikan Indonesia dianggap masih rendah karena beberapa indikator antara lain: Pertama, lulusan dari sekolah dan perguruan tinggi yang belum siap memasuki dunia kerja karena minimnya kompetensi yang dimiliki. Bekal kecakapan yang diperoleh di lembaga pendidikan belum memadai untuk digunakan secara mandiri, karena yang terjadi di lembaga pendidikan hanya transfer of knowledge semata yang engakibatkan anak didik tidak inovatif, dan tidak kreatif, bahkan tidak pandai dalam menyiasati persoalan-persoalan di seputar lingkungannya. Kedua, Peringkat indeks pengembangan manusia (Human Development Index) masih sangat rendah, demikian pula mutu akademik sekolah di Indonesia. Menurut data tahun 2004, dari 117 negara yang disurvei Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005 peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108. Mutu akademik di bidang IPA, Matematika dan Kemampuan Membaca sesuai hasil penelitian Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2003 menunjukan bahwa dari 41 negara yang disurvei untuk bidang IPA Indonesia berada pada peringkat 38, untuk Matematika dan kemampuan membaca menempati peringkat 39 (Octavianus: 2007) Keempat, sebagai konsekuensi logis dari indikator-indikator diatas adalah penguasaan terhadap IPTEK dimana kita masih tertinggal dari negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Oleh banyak kalangan, mutu pendidikan Indonesia dianggap masih rendah karena beberapa indikator antara lain: Pertama, lulusan dari sekolah dan perguruan tinggi yang belum siap memasuki dunia kerja karena minimnya kompetensi yang dimiliki. Bekal kecakapan yang diperoleh di lembaga pendidikan belum memadai untuk digunakan secara mandiri, karena yang terjadi di lembaga pendidikan hanya transfer of knowledge semata yang engakibatkan anak didik tidak inovatif, dan tidak kreatif, bahkan tidak pandai dalam menyiasati persoalan-persoalan di seputar lingkungannya. Kedua, Peringkat indeks pengembangan manusia (Human Development Index) masih sangat rendah, demikian pula mutu akademik sekolah di Indonesia. Menurut data tahun 2004, dari 117 negara yang disurvei Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005 peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108. Mutu akademik di bidang IPA, Matematika dan Kemampuan Membaca sesuai hasil penelitian Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2003 menunjukan bahwa dari 41 negara yang disurvei untuk bidang IPA Indonesia berada pada peringkat 38, untuk Matematika dan kemampuan membaca menempati peringkat 39 (Octavianus: 2007) Keempat, sebagai konsekuensi logis dari indikator-indikator diatas adalah penguasaan terhadap IPTEK dimana kita masih tertinggal dari negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Guru (dosen) akhirnya menjadi salah satu faktor yang menentukan dalam konteks meningkatkan mutu pendidikan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, karena guru adalah garda terdepan yang berhadapan langsung dan berinteraksi dengan siswa dalam proses belajar mengajar. Mutu pendidikan yang baik dapat dicapai dengan guru yang profesional dengan segala kompetensi yang dimiliki. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosenmerupakan sebuah perjuangan sekaligus komitmen untuk meningakatkan kualitas guru yaitu kualifikasi akademik dan kompetensi profesi pendidik sebagai agen pembelajaran. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana S1 atau D4. Sedangkan kompetensi profesi pendidik meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Dengan sertifikat profesi, yang diperoleh setelah melalui uji sertifikasi lewat penilaian portofolio (rekaman kinerja) guru, maka seorang guru berhak mendapat tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok (Dirjen PMPTK, 2007). Intinya, Undang-Undang Guru dan Dosen adalah upaya meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring dengan peningkatan kesejahteraan mereka. Persoalannya sekarang, bagaimana persepsi guru terhadap uji sertifikasi? Bagaimana pula kesiapan guru untuk menghadapi pelaksanaan sertifikasi tersebut ? dan adakah suatu garansi bahwa dengan memiliki sertifikasi, guru akan lebih bermutu? Bagaimana agar sertifikasi bisa meningkatkan kualitas kompetensi guru?" Analisa terhadap pertanyaan-pertanyaan ini mesti dikritisi sebagai sebuah feed back untuk pencapaian tujuan dan hakekat pelaksanaan uji sertifikasi itu sendiri.
KRITISI TERHADAP PELAKSANAAN SERTIFIKASI GURU
Tinjauan Sertifikasi Guru
Dalam kaitannya dengan sertifikasi guru, maka dapat kita kaitkan dengan certification seorang untuk memangku sertifikasi guru, maka sertifikasi yang dipahami di lingkungan pendidikan sampai saat ini dapat diartikan sebagai surat bukti kemampuan mengajar yang menunjukkan bahwa pemegangnya memiliki kompetensi mengajar dalam mata pelajaran, jenjang, dan bentuk pendidikan tertentu seperti yang diterangkan dalam sertifikat kompetensi tersebut (P3TK Depdiknas, 2003). Secara lebih konkrit, sertifikasi guru adalah tanda bukti kewenangan mengajar, Sebagai salah satu bentuk pengakuan resmi, maka dalam melaksanakan program sertifikasi guru seyogianya memiliki suatu standar tertentu yang merupakan kompetensi minimal yang harus dimiliki lulusannya, yaitu suatu standar yang ditetapkan bersama oleh LPTK dan kelompok profesi yang akan memakai lulusan tersebut.
Sistem sertifikasi guru sebagai unsur penjaminan mutu mutlak memerlukan sistem penilaian yang akurat, cepat, hemat biaya, efektif dan bersifat memberdayakan. Pengembangan itu harus bertitik tolak juga kepada kecenderungan munculnya standar kompetensi guru dan hirarki kompetensi menurut pengklasifikasian guru menjadi Standar Kompetensi. Sertifikasi Guru merupakan proses pengujian kompetensi sebagai dasar pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan sebagai guru. Sertifikasi guru diperoleh melalui uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan terakreditasi atau lembaga sertifikasi Profesi. Dengan demikian tujuan sertifikasi guru adalah untuk menentukan kelayakan seorang guru. Peserta sertifikasi guru terdiri atas para guru sebidang atau serumpun yang telah memiliki sertifikasi guru sebagai profesi. Guru yang ingin mengikuti sertifikasi guru diwajibkan untuk mendaftarkan diri dengan menyerahkan berkas persyaratan administratif kepada penyelenggara uji kompetensi. Kemudian peserta mengikuti uji kompetensi untuk semua mata uji yang diwajibkan sesuai dengan standar kompetensi guru. Bila peserta memenuhi persyaratan kelulusan yang telah ditetapkan, kepada yang bersangkutan diberikan sertifikat kompetensi guru.
Profesionalisme Guru
Profesionalisme guru merupakan tuntutan kerja seiring dengan perkembangan sains teknologi dan merebaknya globalisme dalam berbagai sektor kehidupan. Suatu pola kerja yang diproyeksikan untuk terciptanya pembelajaran yang kondusif dengan memperhatikan keberagaman sebagai sumber inspirasi untuk melakukan perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan. Guru sebagai tenaga pendidikan secarasubstantif memegang peranan tidak hanya melakukan pengajaran atau transfer ilmu pengetahuan (kognitif), tetapi juga dituntut untuk mampu memberikan bimbingan dan pelatihan. Di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 ditegaskan pada pasal 39 asi, pengelolaan, pengembangan, pelayanan dalam satuan pendidikan, juga sebagai tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses serta menilai hasil pembelajaran, bimbingan dan pelatihan. Sebagaimana pengertian profesional yang terdapat dalam UU Guru dan Dosen dapat seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan.
Sementara prinsip profesionalitas guru dan dosen UU No.14 tahun 2005 pasal 7 ayat 1, merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut; 1) Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; 2) Memiliki kualifikasi akademik atau atar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; 3) Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; 4) memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; 5) Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; 6) Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; 7) Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan 8) Memiliki organisasi profesi yang mempunyaikewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Secara akademis, seorang guru profesional ia memiliki keahlian atau kecakapan akademis atau dalam bidang ilmu tertentu; cakap mempersiapkan penyajian materi (pembuatan silabus; program tahunan, program semester) yang akan menjadi acuan penyajian; melaksanakan penyajian materi; melaksanakan evaluasi atas pelaksanaan yang dilakukan; serta mampu memperlakukan siswa secara adil dan secara manusiawi. Berdasarkan berbagai kajian di atas, ada beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang guru profesional, yaitu : 1) Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; 2) Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; 3) Bertindak obyektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status social ekonomi perserta didik dalam pembelajaran; 4) Menjunjung tinggi peraturan perundangundangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan 5) Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Tuntutan terhadap guru untuk senantiasa mengikuti perkembangan sains, teknologi dan seni merupakan tuntutan profesi, sehingga guru dapat senantiasa menempatkan diri dalam perkembangannya. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi akibat kemajuan teknologi yang memberikan banyak peluang untuk setiap orang menjadi guru bagi dirinya sendiri, artinya ia bisa mengakess aneka jenis informasi sebagai pengetahuan baru. Guru lebih diposisikian sebagai partner belajar, memfasilitasi belajar siswa sesuai dengan kondisi setempat secara kondusif. Dalam kerja profesional, guru dituntut untuk bisa melayani siswa sebagai subyek belajar dan memperlakukannya secara adil, melihat keberbedaan sebagai keberagaman pribadi dengan aneka potensi yang harus dikembangkan. Maka hubungan antara guru dengan siswa merupakan pola hubungan yang fleksibel, ada kalanya guru menempatkan diri sebagai patner belajar siswa, saat yang lain sebagai pembimbing, dan berposisi sebagai penerima informasi yang belum diketahuinya. Di inilah pembelajaran berlangsung dalam sebuah orkestrasi pembelajaran yang melihat segala sesuatu di sekitar guru sebagai pembelajar potensi untuk mencapai kesuksesan belajar .
Ukuran kesuksesan kerja profesional bagi seorang guru dapat dilihat dari target yang ingin dicapai dalam pembelajaran, serta kemampuan mengoptimalkan fasilitas belajar dan kondisi setempat. Persiapan pembelajaran menjadi sesuatu yang wajib dikerjakan, dan pelaksanaan aplikasi dalam kelas berpijak kepada persiapan yang telah dibuat dengan menyesuaikan terhadap kondisi setempat atau kelas yang berbeda. Kepedulian untuk mengembangkan kemampuan afektif, emosional, sosial dan spiritual siswa, sesuatu yang vital untuk bisa melihat kelebihan atau keunggulan yang terdapat dalam diri anak. Peserta didik diberi kesempatan untuk mengembangkan diri dan menemukan aktualisasi sehingga tumbuh rasa percaya diri.Secara implikatif sikap profesionalisme, guru dibutuhkan dalam upaya strategis untuk terlaksana dan tercapainya tujuan Kurikulum Berbasis Kompetensi, yang dimulai dari implikasi dalam kelas. Lebih jauh lagi akan berpengaruh terhadap sistem pendidikan yang berlangsung dalam sekolah. Suatu sistem yang mencerminkan amanat Undang- Undang untuk memanusiakan manusia, terciptanya pendidikan yang demokratis dan berwawasan kebangsaan. Berkembangnya potensi manusia Indoensia yang bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tanpa lupa mengembangkan kecerdasan kognitif, afektif dan psikomotriknya.
Pelaksanaan Sertifikasi Guru
Dari hasil riset lapangan, banyak guru mengatakan bahwa sertifikasi profesi guru sangat baik dan dapat mengangkat derajat dan wibawa para guru di Indonesia. Tetapi, dalam penerapannya ada hal yang perlu diperhatikan yaitu : [1] kebanyakan guru di Indonesia setelah menjadi pengajar tidak memperdalam pengetahuannya. Artinya, banyak guru kita masih rendah dalam kompetensi pengajaran, [2] harus dipertimbangkan model yang bagaimana yang tepat untuk guru-guru di Indonesia, dan kesiapan para guru untuk disertifikasi, [3] perlu dilakukan pelatihan-pelatihan sebelum sertifikasi dilaksanakan dan perlu dipikirkan tindak lanjut bagi guru yang tidak tanpa sosialisasi dan pelatihan-pelatihan akan merugikan para guru yang sudah cukup lama mengabdi.
Pandangan lain diperoleh dari para guru, yaitu penghargaan terhadap guru belum sebanding dengan beberapa profesi lain [seperti profesi dokter, dan lain-lain]. Hal ini menjadi permaslah mendasar bagi profesi guru itu sendiri, yaitu: Pertama, persoalan yang mendasar adalah kebanyakan guru yang belum memenuhi kualifikasi minimal untuk mengajar, baik dari segi ilmu maupun keterampilan. Kedua, penghasilan guru yang kurang memadai apabila dibandingkan dengan penghasilan profesi lain dan hal ini berimbas pada profesi guru itu sendiri kurang diminati. Ketiga, banyak guru yang tidak memiliki standar kualifikasi yang dituntut oleh masyarakat. Menurut mereka, bahwa seorang guru berbeda dengan profesi dokter, akuntan, dan pengacara sangat banyak bekerja dengan mengandalkan keterampilan berelasi. Guru banyak dituntut untuk bekerja dalam suatu tim kerja, berinteraksi secara intensif setia hari dengan siswa dan berkomunikasi dengan orang tua siswa. Keempat, guru kurang dihargai, karena pekerjaan yang diembannya dianggap kurang membutuhkan keterampilan yang sangat khusus dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menjadi profesional.
Menurut salah satu anggota Komisi X DPR RI Angelina Sondakh yang dikutip oleh Suara Merdeka (2007), dikatakan bahwa proses sertifikasi guru sampai saat ini belum bejalan dengan baik, hal itu dikarenakan mekanismenya belum sesuai dengan harapan, sehingga masih perlu perbaikan. Selain itu, pemberian intensif guru juga belum berjalan sesuai harapan. Ketakutan dan pesimisme peserta sertifikasi guru dalam jabatan, ternyata bukan isapan jempol belaka. Ada sebagian kalangan mengatakan bahwa sertifikasi guru ada kecenderungan berorientasi memisahkan antara guru ir). Dengan kata lain ada guru yang mendapat tunjangan profesi dan ada yang tidak mendapatkannya. Hal ini sudah menjadi kenyataan, di beberapa tempat terjadi adanya kecemburuan secara horisontal antar guru yang berhasil lolos sertifikasi dan yang belum . Jika hal ini tidak segera diatasi maka akan merambat pada konflik yang berkepanjangan, oleh karena itu butuh solusi segera.
Kesenjangan pelaksanaan sertifikasi guru antara pegawai negeri sipil atau PNS dan honorer terlalu jauh. Selain itu, sertifikasi ini juga masih membuka peluang sekadar meningkatkan pendapatan daripada kualitas mengajar. Kekhawatiran itu muncul ketika terbuka kemungkinan tindakan tidak terpuji dalam Makassar,(Suara Merdeka, 6 april 2007), di hadapan sekitar 500 guru, Suparman mengingatkan, pelaksanaan sertifikasi cenderung melenceng dari niat semula mewujudkan sosok guru profesional. Sekarang di kalangan guru muncul kultur dan kegemaran baru, yakni sebagai kolektor piagam dan sertifikat dari forum ilmiah dan pelatihan. Bila hal itu terjadi, tentu saja pelaksanaan sertifikasi jauh dari tujuan sebenarnya yaitu meningkatkan kompetensi dalam kegiatan belajarmengajar, predikat profesional hanya Berdasarkan fakta yang ada dilapangan, ternyata masih banyak guru yang ternyata belum faham akan pelaksanaan sertifikasi guru. Banyak hal yang mesti dicermati oleh guru peserta sertifikasi. Karena itu, sosialisasi dari pihak Dinas Pendidikan sungguh diperlukan. Kurangnya sosialisasi, terutama menyangkut cara pengisian dan penyusunan portofolio, mengakibatkan banyak terjadi kesalahan. Celakanya, kesalahan pengisian portofolio karena ketidaktahuan itulah yang acapkali menjadi faktor penyebab ketidaklulusan.
Ke depan, Dinas Pendidikan di tiap kabupaten dan kota perlu memperketat pemberkasan dokumen sertifikasi. Jangan sampai peserta gagal (meraih poin sedikit) akibat ketidaklengkapan portofolio. Untuk dokumen karya ilmiah (penelitian, buku dan modul), portofolio harus lengkap dan diketahui atasan langsung. Hanya saja tidak semua sertifikat mesti dilampirkan karena untuk komponen tertentu (seperti pengalaman organisasi, dan keterlibatan dalam forum ilmiah) skornya dibatasi maksimal 100. Karena khawatir guru sering meninggalkan kelas untuk mengikuti berbagai forum seminar dan sebagainya, sehingga murid jadi terlantar. Belum lagi pasca sertifikasi pada akhir tahun 2007, sejumlah ratusan guru belum menerima tunjangan meskipun telah menyelesaikan program sertifikasi sejak akhir tahun lalu (Suara Merdeka, 20 Mei 2008). Mereka resah karena tunjangan yang besarannya mencapai sekitar satu kali gaji pokok itu masih belum jelas pembayarannya. Sementara itu, berdasarkan perjanjian, seharusnya tunjangan sertifikasi itu dapat diterimakan satu bulan kemudian, namun kenyataannya belum jelas kabarnya.
Pengalaman di lapangan, menunjukan bahwa di mata guru, uji sertifikasi adalah guru. Di sisi lain sertifikasi guru adalah suatu political will pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas guru yang sangat besar kontribusinya bagi peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Miskonsepsi semacam ini, membuat para guru dapat menghalalkan segala cara dalam membuat portofolionya dengan memalsukan dokumen prestasi atau kinerjanya, seperti yang terjadi di beberapa tempat (pengalaman Penulis sebagai asesor). Dalam konteks ini diperlukan kejelian dari tim penilai portofolio untuk melakukan identifikasi dan justifikasi. Semua penyimpangan harus diungkap atas nama kualitas, dengan melakukan cross check di lapangan.
Uji Sertifikasi bagi guru mesti dipahami sebagai sebuah sarana untuk mencapai tujuan yaitu kualitas guru. Sertifikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman yang benartentang hakekat sertifikasi akan melahirkan aktivitas yang benar dan elegan, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk kualifikasi, maka proses belajar kembali mesti dimaknai dalam konteks peningkatan kualifikasi akademik yaitu mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru, sehingga mendapatkan ijazah S1 / D4. Ijazah S1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar seperti jual-beli ijazah, melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapat tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru yang mengikuti uji sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana diisyaratkan dalam standard kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan dimaksud. Dengan enyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan pintas guna memperoleh sertifikat profesi kecuali dengan mempersiapkan diri dengan belajar yang benar dan tekun berkinerja menyongsong sertifikasi. Idealisme, semangat dan kinerja tinggi disertai rasa tanggung jawab mesti menjadi ciri guru yang profesional.
Dengan kompetensi profesional, guru akan tampil sebagai pembimbing (councelor), pelatih (coach) dan manejer pembelajaran ( learning manager) yang mampu berinteraksi dengan siswa dalam proses transfer pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai yang baik. Semangat untuk tetap belajar (bukan hanya mengajar) akan membantu guru untuk mengupgrade pengetahuannya, sehingga dapat menyiasati kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peluang pemanfaatannya untuk memajukan proses belajar di kelas. Sertifikasi guru adalah amanat Undang-undang bagi semua guru di Indonesia yang jumlahnya sekitar 2,8 juta baik negeri maupun swasta, jadi bukan sesuatu yang mesti diperebutkan oleh guru. Semua akan kebagian, asalkan telah memenuhi persyaratan. Marilah kita terus tingkatkan kompetensi dan profesionalisme kita, sehingga dapat meraih prestasi dan prestise dibidang pendidikan, untuk selanjutnya dapat berdiri sejajar dan bersaing dengan negara-negara lain. Semoga.
KESIMPULAN
Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk meningkatkan kualitas kompetensi guru. Sertifikasi bukan tujuan, melainkan sarana untuk mencapai suatu tujuan, yakni keberadaan guru yang berkualitas. Oleh karenanya, semenjak awal harus ditekankan khususnya di kalangan pendidik, guru, dan dosen, bahwa tujuan utama adalah kualitas, sedangkan kualifikasi dan sertifikasi merupakan sarana untuk mencapai kualitas tersebut.
Guru profesional adalah guru yang mampu melaksanakan tugas profesinya dengan baik, yakni memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial. Pelaksanaan sertifikasi guru demi tercapainya tujuan utama, yakni perbaikan kulitas, menciptakan guru yang profesional, maka upaya perbaikan dan sosialisasi pelaskaanaan uji serertifikasi dan peningkatan kompetensi guru harus dilakukan secara baik, terencana dan berkelanjutan dan bersinergis.
Sertifikasi guru merupakan proses yang dapat mengangkat harkat dan wibawa guru. Namun,
sertifikasi guru jangan sampai dipandang sebagai satu-satunya jalan yang menjamin kualitas guru. sementara lingkungan kerja guru tidak mendukung penggunaan maksimal kompetensi. Jika akan terjadi pada wajah pendidikan di Indonesia.
Sumber :Oleh : Hasbullah
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Elektro FPTK UPI
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Elektro FPTK UPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar